Jumat, 30 Desember 2016

Puisi : Sang Pendusta >>

Sang Pendusta
Oleh : Bahar

suatu saat di pulau tak berpenghuni...
ditemukan sebuah buku, berisi kisah terdahulu tentang para pendusta!
menusukkan fitnah di tumpukan jerami yang terbakar...
kepulan asap terlihat hingga di seberang benua, memedihkan mata!
lalu darah mengalir...
mengisi setiap cekungan yang ada di bumi, lembah dan sungai memerah!
tubuh-tubuh kaku berserakan...
maka dikuburkan burung-burung bangkai, menjadi belulang dan rintihan peziarah!!
siapa gerangan yang melakukan ini semua, apa salah kami?

di kemewahan singgasana...
sang pendusta terkekeh, menyilangkan betis dan tersenyum buas!
meraih pena, lalu menuliskan namanya di buku sejarah sebagai ksatria melegenda?
lantas, memesan peti mati dan berwasiat di makamkan dengan usungan keranda perak, juga nisan bernama...??
jika tidak, tulisnya tersenyum lagi...
kemudian terlelap lalu tiba-tiba bermimpi jadi penguasa di tempat tidurnya?
hening beraroma angker...
di pulau tak berpenghuni, sang pendusta sempoyongan menuju kuburannya sendiri, sudah tak bernyawa lagi!!
rupanya, kematian mendatanginya tadi malam...


kematian yang sang pendusta ingkari, telah memotong nadinya!
Read More

Puisi : Berjuang Hidup >>

Berjuang Hidup
Oleh : Bahar

setitik air pada daun kering di hening belantara, 
menunggu giliran mengobati dahaga para pengelana...
seekor burung pelatuk mendekat, menaruhnya di paruh dan membawanya pulang untuk anak-anaknya.
sebuah harga yang mesti dibayar, demi hidup, bukan kepongahan di antara desing peluru yang membidik kepalanya sejak kemarin... 
antara air dan burung pelatuk, keduanya hanya menjalani takdir.
tak ada gunanya meronta, apalagi mengeluh...
senapan menyalak lagi, hampir mengenai sayapnya.
air di paruh tak sengaja tertelan, sang pelatuk menukik di rimbunan perdu...
bersembunyi dari liarnya hati pemburu, juga elang pengintai !!
berjuang sendiri dengan perut kosong dan anak-anak yang lapar, putus asa begitu menggoda...
lengang sebentar...
bersiap pulang ke sarang,
mengumpulkan sisa tenaga, jika tak mau disambut kematian?
ahh, anak-anakku menunggu...
dorr, doorrr!!
tiba di sarang, sang pelatuk memuntahkan air yang sudah tertelan untuk anak-anaknya.
di iringi air mata, alangkah berat perjuangan hari ini...
cuma air, tanpa makanan?
sang pelatuk perlahan tersungkur,
darah mengalir.
rupanya, sebutir peluru telah menembus tubuhnya...
tak sempat berpamitan, di sisa tenaganya, pelatuk tersenyum dan menangis untuk terakhir kali pada anak-anaknya??
Read More

Setia yang terusik

dipisahkan jarak...
mengemas rindu saat bersiap pergi dan memanggulnya ketika kembali.
jika waktu mengiris hari menjadi kepingan, maka akan aku rengkuh pilu yang menjatuhkan air mata?
sepi mengusik...
lamunan mengembara diantara lambaian bunga-bunga belantara, lantas mengukur kesetiaan yang melapuk untuk dijadikan pembenaran??
siapa yang lebih mencintai kala cinta melunturkan warnanya di air tergenang?
andai lilin menghancurkan dirinya tapi tak mau dikenang, cuma kegelapan yang bisa memahami...
ilalang berbisik lirih menanti bulan yang hilang sejak kemarin.
memilih diam, mengajak angin mencumbu kegelisahan ke pangkuan rimbunan belukar..
di bening langit, hanya bintang yang tak mau ditangisi...
mempertahankan setia layaknya baja,
engkakukah itu yang membetulkan letak kecemasan??
seikat kuntum bunga yang tak bisa terbakar, meski ilalang kering mengepung?
penutup segenap kesedihan...
marilah menari walau musim telah menyelesaikan segalanya, bahkan jika terasing sekalipun??
Read More